Ubi kayu merupakan komoditas tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung. Tidak hanya di dalam negeri, komoditas ubi kayu Indonesia juga berperan penting dalam produksi ubi kayu dunia. Asriani (2011) melaporkan bahwa Indonesia merupakan produsen ubi kayu terbesar keempat di dunia setelah Nigeria, Brazil, dan Thailand. Permintaan ubi kayu dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, baik untuk dikonsumsi langsung maupun sebagai bahan baku berbagai industri.
Peran ubi kayu dalam bidang industri akan terus mengalami peningkatan seiring dengan adanya program pemerintah untuk menggunakan sumber energi alternatif yang berasal dari hasil pertanian (liquid biofuel), seperti biodiesel dan bioetanol serta diversifikasi pangan berbasis pangan lokal. Pemerintah telah mencanangkan bioetanol sebagai sumber energi alternatif terbarukan berupa Gasohol-10 (campuran premium dengan 10% etanol), di mana 8% keperluan etanol berasal dari ubi kayu.
Jumlah penduduk Indonesia yang besar (247 juta jiwa) dengan pertumbuhan yang masih tinggi (1,47%/tahun) dan peningkatan kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) sebesar 7%/tahun yang akan lebih memacu kebutuhan ubi kayu mendorong pemerintah untuk terus meningkatkan produksi ubi kayu sebagai bahan pangan alternatif mendukung ketahanan pangan nasional (Sundari 2010). Pada tahun 2014 produksi ubi kayu tercatat sebanyak 23,44 juta ton (BPS 2016a) dengan luas panen sekitar 1 juta ha (BPS 2016b), atau produktivitas rata-rata sekitar 23,35 ton/ha. Produktivitas ubi kayu tersebut masih jauh dari potensi hasil beberapa varietas unggul ubi kayu yang dapat mencapai 40±50 ton/ha (Saleh 2012). Empat provinsi produsen ubi kayu terbesar di Indonesia adalah Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat yang menyumbang sekitar 76,37% dari total produksi ubi kayu di Indonesia. Dalam rangka pembangunan pertanian, Permentan No. 50/Permentan/OT.140/8/2012 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian menekankan pentingnya pengembangan komoditas pertanian dengan berbasis kawasan.
Pengembangan kawasan pertanian antara lain dirancang untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi program peningkatan produksi komoditas pertanian. Efektif dalam pengertian bahwa pelaksanaan program peningkatan produksi yang berbasis kawasan mampu meningkatkan produksi komoditas pertanian secara signifikan, sedangkan efisien memiliki makna bahwa program tersebut dapat dilaksanakan dengan biaya yang relatif kecil. Melalui pembangunan yang berbasis kawasan tersebut diharapkan pelaksanaan program peningkatan produksi pertanian dapat lebih fokus dan terkonsentrasi di wilayah tertentu sehingga aktivitas pembinaan kepada petani menjadi lebih mudah, pengembangan infrastruktur dan kelembagaan pendukung dapat lebih disesuaikan dengan kebutuhan di tingkat lapangan, dan keterkaitan pengembangan di sektor hulu dan sektor hilir dapat diciptakan. Lebih lanjut pengembangan kawasan pertanian tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan produksi pertanian nasional dan pada tingkat wilayah.
Sumber : Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 14 No. 2, Desember 2016: 125-148